Jumat, 06 November 2015

Hitam

(Cerita ini hanyalah fiktif belaka)

Persahabatan bukanlah tentang siapa yang kau kenal lebih lama..
Persahabatan adalah tentang siapa yang datang dan tak tak pernah meninggalkanmu..
Sahabat layaknya pelangi yang mencerahkan hidupmu setelah kau berhasil melewati badai..
Aku memilikinya..
Aku menyayanginya..
Dan aku melukainya..

Persahabatan. Menurutku adalah hal yang paling menyenangkan dalam hidupku. Namun, itu 3 tahun silam. Namaku Minki, karena tingkah bodohku aku kehilangannya. Kehilangan sahabat yang amat ku sayangi, Ivan. Aku selalu berusaha mencarinya, mencari seseorang yang dulu sempat mengisi hari-hariku dengan tawa khasnya.
Aku berharap disetiap aku membuka mata dia ada disampingku. Aku berharap dia tak akan lari saat dia mendengar suaraku. Aku berharap dia akan kembali padaku seperti dulu. Aku berharap disaat kita bertemu nanti, dia tidak membenciku.
Banyak hal yang ingin kulakukan dengannya. Banyak tempat yang ingin aku kunjungi dengannya. Banyak hal yang ingin aku katakan padanya, “Apa kau sudah makan? Apa kau hidup dengan baik? Aku terasa akan mati saat tahu kau meninggalkanku. Hidupku terasa hancur. Aku akan menjadi orang yang tidak bahagia di dunia ini.”
Tiga tahun yang lalu, ketika aku duduk dibangku kelas 3 sekolah menengah pertama...
Pohon cherry yang ditanam di pekarangan belakang rumah mulai menumbuhkan bunga kecilnya yang berwarna pink. Menandakan sudah waktunya untuk musim semi mengambil bagiannya. Udara musim dingin yang beralih ke musim semi begitu menyentuh tulang. Membuat warna seperti udang rebus pada telingaku dan telinga Ivan, meskipun kami memakai pakaian berlapis sekalipun. Kami satu sekolah, satu kelas, bahkan kami tinggal satu atap, ya dia tinggal di rumahku.
Aku selalu bangun lebih dulu sebelum Ivan. Membuat sarapan untuk kami berdua, bagai seorang ibu yang memasak untuk keluarganya. Ivan telah ku anggap sebagai adikku sendiri, walaupun usia kami berbeda beberapa bulan saja. Aku sangat menyayanginya. Aku tak mau kehilangannya.
Setiap pagi aku dan Ivan berangkat ke sekolah bersama, menunggu bus bersama, mendengarkan musik bersama, membaca komik bersama, semua kami lakukan bersama-sama. Disaat kami terlambat masuk sekolah, kami selalu melompat pagar sekolah. Kami adalah murid yang nakal, dengan peringkat 1 dan 2 dari belakang membuat para guru hafal dengan kami. Pernah kami hampir dikeluarkan dari sekolah karena terlibat perkelahian antar sekolah, namun wali kelas kami memohon pada kepala sekolah untuk tidak mengeluarkan kami.
Saat pulang sekolah aku membawa Ivan ke suatu tempat yang ingin aku kunjungi, yakni Sungai Han. Di sana terdapat alang-alang setinggi satu meter, hamparan sungai yang luas dengan jembatan panjang melintang di atasnya ditambah lagi cahaya lampu saat malam hari. Membuat tempat itu ramai dikunjungi orang. Ada yang hanya duduk santai memandangi sungai dan menanti kembang api, ada yang bermain sepatu roda, ada yang bersepeda, bahkan ada yang mengajak hewan kesayangannya jalan-jalan.
Aku mengajak Ivan kemari karena menurut prediksi akan ada hujan meteor. Konon jika kita berdoa saat terjadi hujan meteor, akan terkabul. Memandang langit dari bawah jembatan sangatlah indah. Kita dapat melihat jutaan bintang yang jauh disana, menghiasi langit bagai roti dengan jutaan meses warna-warni yang tak akan habis jika dimakan. Namun saat mendung tiba, langit bagai tanah yang tandus dan tak berpenghuni.
Saat aku melihat satu meteor jatuh mengarah ke timur, dengan cepat aku dan Ivan memanjatkan doa.
(Aku berdoa sambil menggenggam tanganku di depan dada dengan mata terpejam) “Ya Tuhan, aku ingin Ivan selalu bersamaku hingga kematian memisahkan kita.”
Aku melihat Ivan sedang memanjatkan doa dengan air mata mengalir di pipinya. Mungkin dia berdoa sama sepertiku, meminta agar kami selalu bersama.
Tak lama suara keras kembang api bagai bom yang meledak saat perang terdengar tak jauh dari telinga kami. Membuat konsentrasi berdoa kami hilang. Kami pun beralih menikmati kembang api yang dimainkan segerombolan anak perempuan yang berhasil membuat kami terkesima olehnya. Tiba-tiba muncul keinginanku untuk mencobanya juga. Aku pikir akan mudah melakukannya, semudah membalik telapak tangan. Namun aku salah, butuh latihan beberapa kali hingga selihai mereka.
Aku mencoba mengajak Ivan untuk bermain kembang api, menikmati keindahan malam yang cerah tanpa gangguan mendung atapun salju. Ivan nampak menikmati kembang apinya, begitupun denganku. Aku berpikir bahwa kembang api yang ku mainkan telah habis dan aku mengarahkannya pada Ivan, hanya untuk candaan.
Tanpa sengaja Ivan menghadap kembang api yang ku bawa. “Duaarrrr!!!” Suaranya tak begitu keras, namun tepat mengenai kornea mata Ivan. Seketika aku mematung tak percaya dengan apa yang telah aku lakukan. Kakiku rasanya lumpuh dan tak bisa digerakkan.
Ivan terus berteriak, “Sakit! Sakit! Kakak mataku sakit!” (sambil memegangi kedua matanya)
Aku masih dalam diam, menelaah apa yang telah ku perbuat. Aku berkata dalam hati, “Ya Tuhan, apa telah aku lakukan pada Ivan?” (sambil melihat tangan kanan dan kiriku bergantian)
Aku melihat Ivan dibawa ambulance yang akan menuju ke rumah sakit terdekat.
Aku takut dengan diriku sendiri, jika aku menemui Ivan akan melukainya lagi. Aku takut jika Ivan akan membenciku. Aku belum siap jika harus kehilangannya. Aku memilih menjauh darinya, aku tak kuat melihatnya menderita karenaku. Aku ingin sekali menggantikan posisi Ivan, karena kebodohanku aku kehilangannya. Tidak, aku yang melepaskannya. Aku merasa duniaku telah runtuh.
Tiga tahun kemudian...
Aku hidup dalam kesepian, tiga tahun berlalu tanpa ada Ivan ataupun sahabat yang lain. Kini aku bersekolah di SMA Swasta, dan malam harinya aku harus kerja paruh waktu untuk mencukupi kehidupku. Di pagi hingga sore hari aku menjadi ketua kelas, di malam hari aku menjadi jasa pengantar barang.
Di pagi yang cerah, aku manfaatkan untuk tidur sebentar di dalam kelas. Suara gaduh siswa kelas 3-1 tak menghilangkan niatku untuk tidur. Namun saat suara gaduh siswa berubah menjadi suara seorang guru, membuatku terbangun.
“Anak-anak kita sebentar lagi libur musim panas. Apa kalian telah menyiapkan apa yang akan kalian lakukan?” Ujar seorang guru di depan kelas yang mampu membuat seluruh siswa gaduh kembali.
 “Apa yang akan lakukan selama libur musim panas ini? Apa aku harus bekerja? Atau aku pergi mencari Ivan? Mencari informasi dimana rumahnya sekarang? Dimana sekolahnya sekarang? Pergi mencari Ivan bukan ide yang buruk.” (Ujarku dalam lamunan dengan menatap langit biru).
Tak terasa libur musim panas telah tiba. Sebelumnya aku telah menyiapkan jadwal tempat yang akan aku kunjungi hari ini untuk mencari Ivan, semoga dengan jadwal ini sedikit membantuku.
Tempat pertama yang akan aku kunjungi adalah rumah lama Ivan. Rumah yang menjadi saksi bisuku bersama Ivan 3 tahun lalu. Namun rumah itu kini telah kosong tak berpenghuni dan banyak tumbuh rumput liar. Tempat kedua adalah tempat favorit kami, yaitu taman bermain di dekat rumah Ivan yang banyak menyimpan kenanganku bersamanya. Dan tempat yang terakhir adalah sungai Han. Meskipun sungai Han adalah saksi bisu ketika aku melepaskan Ivan, tapi apa salahnya aku mencoba mencarinya disana.
Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh area sungai Han, aku tak mendapati sosok yang aku cari. Semakin ku perdalam lagi pandanganku, ada sosok pria yang janggal menurutku. Dia berkacamata hitam, memakai topi, tangan kanannya memegang tongkat dan tangan kirinya memegang tali penuntun anjing. Aku sedikit menundukkan badanku sebagai tanda hormatku padanya, namun tak ada respon apapun. Aku mendekatinya dan tersenyum padanya, namun tetap tak ada respon apapun.
Saat aku mendekati pria tersebut aku kaget sekaget-kagetnya. Ternyata orang yang selama ini aku cari, mengalami kebutaan. Ya, Ivan buta karenaku, karena kecerobohanku.
“I-Ivan?” Ujarku terbata-bata saat melihat kondisi Ivan.
“Siapa kamu?” Sejenak Ivan berpikir untuk mengingat kembali suaraku. “Kamu? Kenapa kamu di sini?”
“Aku mencarimu, Van.” Sahutku
“Kenapa kau muncul kembali setelah 3 tahun berlalu? Kau kemana saja Minki? Kenapa baru sekarang kau muncul? Kenapa kau tidak datang saat aku di rumah sakit? Kenapa?” (Ujar Ivan dengan mencoba memukulku menggunakan tongkatnya)
Air mataku tak dapat terbendung lagi, kini pipiku telah basah seperti sungai yang mengalir. Aku hanya diam ketika tongkat Ivan mengenai tubuhku. Aku tahu, aku pantas mendapatkannya.
“Dulu aku seorang pengecut yang takut mengakui kesalahannya. Selama 3 tahun ini aku merasa tak ada gunanya lagi aku hidup, hidup dalam rasa bersalah yang aku buat sendiri. Jika aku dapat memutar waktu aku akan mengantarmu pergi ke rumah sakit, menjadi mata untukmu, menjalani waktu bersama.” (Ujarku masih dalam tagis)
“Bagaimana mungkin aku akan menjalani waktuku bersama orang yang telah membuat mataku seperti ini?” (Ujar dengan membuka kacamatanya)
“Van, maafkan temanmu yang pengecut ini!”
“Apakah semudah itu memaafkan orang sepertimu? Bukankah kau tahu aku orangnya seperti apa? Aku sulit menyembuhkan luka dihatiku. Kau tahu kan itu?”
“Aku mohon, Van. Maafkan aku” (Ujarku memohon pada Ivan yang mulai menjauh dariku)
Aku duduk di bangku yang diduduki Ivan sebelumnya, menundukkan wajahku agar tak terlihat orang kalau aku menangis. Aku mencari cara agar Ivan memaafkanku dan kami kembali seperti dulu.
Aku mengikuti Ivan pulang tanpa sepengetahuannya. Dia tinggal bersama kakaknya tidak jauh dari sungai Han. Di rumah sederhana yang besebelahan dengan gereja dan toko roti, disanalah ia tinggal. Aku melihat Ivan masuk ke dalam toko roti dan kakaknya sedang melayani pelanggan. Ya, toko roti itu milik kakak Ivan. Walaupun tak terlalu banyak roti yang dijajakan, namun pelanggan mampu memenuhi toko roti tersebut.
Aku lega melihat Ivan hidup dengan baik bersama kakaknya. Setidaknya itu mengurangi rasa bersalahku padanya. Aku mengamatinya dari kejauhan, dia makan dengan baik, asik bermain dengan anjingnya, sesekali ia tertawa dengan anjingnya.
Langit mulai mengeluarkan cahaya merahnya disebelah barat. Menandakan sudah waktunya untuk cahaya bulan menggantikan cahaya matahari. Aku berjalan menjauhi toko roti Ivan. Berjalan menyusuri lorong jembatan yang mulai menyepi. Menaiki anak tangga satu per satu, berjalan dengan menunduk membuatku seperti berjalan tanpa arah. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan untuk meminta maaf pada Ivan.
Sesampainya di rumah aku mesih terus berpikir bagaimana caranya agar Ivan memaafkanku.
“Apa aku harus menemaninya? Tidak, tidak. Jika dia tahu aku menemaninya mungkin dia akan marah seperti sebelumnya, memukulku dengan tongkat atau bahkan lebih.” (Ujarku yang sejenak menghentikan aktivitasku menggosok gigi)
“Mungkin aku bisa mengawasinya dari kejauhan. Ya, dengan begitu ia tak akan marah-marah. Aku hanya ingin melihatnya tersenyum. Aku tak ingin karena kehadiranku membuatnya marah. Dengan senyumnya ia terlihat sangat tampan.”
Esok harinya, aku memutuskan pergi ke sungai Han untuk menemui Ivan. Meminta maaf padanya adalah pekerjaanku saat ini. Aku siap jika Ivan masih memukuliku, tapi aku tidak siap jika ia masih marah padaku dan tidak mau memaafkanku. Aku mengelilingi area sungai Han, namun aku tak melihat Ivan disana.
Aku pergi ke toko roti kakak Ivan, namun toko tersebut tutup. Bertanya pada salah seorang tetangga Ivan adalah pilihanku. “Maaf, apakah anda tahu sekarang pemilik toko ini pergi kemana?”
“Aa Ivan? Dia pergi ke rumah sakit setiap satu bulan sekali. Hari ini Ivan dan kakaknya pergi ke rumah sakit Global. Kata kakaknya sih mencari donor mata. Kasihan sekali Ivan, dia tampan namun buta. Sungguh hidup ini begitu mengerikan.” (Ujar wanita paruh baya tetangga Ivan)
“Ya. Terima kasih” (Ujarku dengan sedikit membungkukkan tubuhku padanya)
Aku bergegas pergi menuju rumah sakit Global untuk mencari Ivan, namun aku tidak menemui Ivan.
Aku bertanya pada seorang suster, “Permisi suster, ruang dokter mata dimana?”
“Oh, anda bisa mengikuti garis biru ini dan anda akan menemukan ruang dokter mata.” (Ujarnya dengan menunjuk garis biru di lantai)
“Oh iya. Terima kasih”
          Setelah beberapa menit aku mengikuti garis biru tersebut, aku sampai didepan pintu sebuah ruangan. Pintu berwarna cream dengan papan menggantung di atasnya. ‘dr. Rama spesialis mata’ itu tulisannya. Sesaat sebelum aku mengetuk pintu, aku mendengar suara dokter menjelaskan pada Ivan dan kakaknya. Aku merasa tertampar saat dokter mengatakan bahwa selama beberapa tahun terakhir donor mata untuk rumah sakit ini memang belum ada, walaupun suaranya terdengar samar itu mampu membuatku membulatkan mata.
          Aku berlari menjauhi ruangan dokter mata karena tak mau mendengar lebih jauh lagi. Aku berlari dengan mata berkaca-kaca. Aku harus menahannya. Menahan jangan sampai menangis di tempat umum.
Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamarku. Mengambil sebuah kotak usang penuh debu yang berada di bawah kolong kasurku. Aku membukanya perlahan, mengabsen satu per satu apakah masih lengkap isinya atau tidak. Sebuah objek mampu manarik perhatianku. Sebuah pigura foto lengkap dengan isinya berukuran 10,2  x  15,2 cm. Bukan piguranya yang menarik perhatianku, melainkan isinya. Ya, isinya adalah foto kami, fotoku dengan Ivan waktu dulu.
Mengingat-ingat kembali masa kami bersama membuatku semakin merindukannya. Air mata membanjiri pipiku. Sebenarnya aku adalah lelaki yang kuat, namun untuk masalah Ivan aku menjadi lelaki yang amat rapuh. Mungkin hanya diterpa angin aku akan langsung jatuh. Begitu sulit meminta maaf pada Ivan membuatku semakin terpuruk.
Esok harinya, matahari menyinari kota sangat cerah. Seperti biasa aku pergi ke sungai Han untuk mengawasi Ivan, namun untuk kali ini aku tidak mengawasinya. Aku menghampirinya, karena aku tak mampu lagi menahan rasaku untuk tetap berada disampingnya.
“Hai Van..” Sapaku saat melihat Ivan yang duduk di bangku kayu dekat sungai Han bersama anjingnya.
“Kenapa kau kemari lagi? Belum puas kah kau membuatku seperti ini? Hah?”
“Van, aku kemari untuk minta maaf. Bukan untuk membuatmu marah.”
“Jika kau ingin aku tidak marah, maka jangan pernah sekali-kali datang padaku lagi. Lebih baik kau pergi sekarang, sebelum aku memukulmu”
“Van, aku mohon maafkan aku. Maafkan teman pengecutmu ini.” (Aku mulai meneteskan air mata dan suaraku mulai bergetar) “Aku mohon, Van.”
“Kau mau aku memaafkanmu? Setidaknya kau harus merasakan tersiksanya jadi seperti diriku. Maka aku akan memaafkanmu.”
“Maksudmu?”
“Butalah! Maka aku akan memaafkanmu.” (Aku terpaku lemas tak berdaya mendengar ucapan Ivan)
“Apa hanya itu yang dapat lakukan untuk menebus kesalahanku? Apa tak ada cara lain, Van?”
“Kenapa? Kau tidak bisa?”
“Aku butuh waktu untuk memikirkannya, Van. Lebih baik aku mengantarmu pulang sebelum sinar matahari membakar kulit putihmu.” (Ujarku dengan mengulurkan tangan pada Ivan)
“Tidak terima kasih. Lebih baik aku pulang bersama anjingku daripada teman pengecut sepertimu.” (Ivan mulai berdiri dan berjalan menjauhiku bersama anjingnya)
          Aku mencoba mencerna kembali kata-kata Ivan, “Aku akan memaafkanmu jika kau merasakan tersiksanya jadi seperti diriku.” “Butalah!”
Aku terus memikirkannya hingga kepalaku hampir pecah, “Apa hanya ini jalan satu-satunya untuk dia mau memaafkanku? Apa tidak ada jalan lain? Aku sudah cukup tersiksa dengan dia membenciku. Tapi kenapa harus seperti ini? Bukan ini yang aku mau.”
          Aku pergi ke rumah sakit Global untuk berbicara pada dokter Rama, tepatnya aku ingin bertanya tentang kondisi keadaan mata Ivan.
“Dok, bagaimana kondisi keadaan mata Ivan? Apa sangat parah matanya?”
“Kondisinya tidak terlalu parah. Jika dia segera mendapat donor mata, mungkin akan lebih mudah untuk kembali walaupun tidak 100%. Namun, di rumah sakit manapun kehabisan stok mata.”
(Aku terdiam memikirkan kata-kata Ivan lagi)
“Dok, jika saya mendonorkan mata saya pada Ivan, apa dia dapat melihat lagi? Apa dia dapat melihat warna langit lagi?”
“Aku melakuan ini, karena aku tidak ingin lagi melihatnya semakin tersiksa karenaku.” (Batinku)
“Apa kamu serius? Bagaimana dengan kehidupanmu?”
“Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja, dok. Lalu apa persyaratannya, dok?”
“Sungguh kamu tidak apa-apa?”
“Iya, dok”
“Syaratnya mata kamu harus sehat. Tidak katarak, tidak berpenyakit, normal.”
“Mata saya sehat dok” (sambil menunjuk mataku sendiri)
“Kamu harus mengisi formulir terlebih dulu dan besok bisa kita lakukan operasinya. Apa kamu siap?”
“Siap, dok”
          Setelah pulang dari rumah sakit, aku sempatkan melihat Ivan dari kejauhan yang berada di dalam toko rotinya. Untuk terakhir kali melihatnya secara langsung, sebelum operasi berlangsung. Aku melihat kakak Ivan menghampirinya dengan senyum bahagia di wajah mereka. Aku senang melihat senyum mereka karenaku. Aku memperhatikannya sedetail mungkin agar aku dapat membayangkan bagaimana senyum mereka saat aku tak dapat melihatnya.
          Sesampainya di rumah, aku memperhatikan seluruh isi rumahku. Aku merapikannya, sebelum aku tak dapat merapikannya lagi. Aku mengganti semua barangku yang terbuat dari kaca dengan plastik, agar tak pecah jika aku salah meletakkannya. Semua persiapanku telah matang, dari pakaianku untuk ke rumah sakit hingga aku berganti handphone khusus pengguna tunanetra. Aku siap menjalani operasi.
Sembari berjalan ke rumah sakit, aku memperhatikan jalanan yang aku lewati. Jalanan yang dominan dengan warna hijau dan hitam karena musim semi dan aspal. Jalanan dengan udara yang sejuk di pagi hari. Jalanan yang ramai dengan pengguna jalan. Sebelum jalanan tersebut menjadi hitam tanpa cahaya, aku memperhatikannya dengan seksama. Ya, sebelum aku menjadi penyandang tunanetra.
Operasinya berjalan lancar, selancar warna hitam yang memenuhi pandanganku. Kini tak ada lagi warna-warni pelangi, tak ada lagi warna-warni lampu, tak ada lagi warna-warni kembang api. Bagiku aku hanya mengenal satu warna, hitam.
Sebaliknya, dunia Ivan kembali berwarna. Kini dia mengenal banyak warna lagi, tidak seperti 3 tahun terakhir yang hanya mengenal warna hitam.
Saat aku bertanya pada seorang suster, “Apakah Ivan bahagia?”
Dia menjawab, “Ya, Ivan bahagia. Namun saat aku mengatakan bahwa kau yang mendonorkan matanya dia terlihat sedih.”
“Apa yang salah dengan perbuatanku? Aku sudah buta, tapi kenapa Ivan masih sedih?” (Lamunku sesaat setelah suster mengatakannya)
Satu bulan kemudian...
          Aku mulai sedikit terbiasa dengan mataku. Aku melakukan kegiatan rumah tidak sendiri lagi. Ya, kini Ivan kembali padaku dan tak akan pernah meninggalkanku lagi. Itu janji kami saat kami berdoa bersama.
Setiap hari Ivan menyuapiku, menjadi mata untukku, penuntun arah untukku berjalan. Kini hidupku terasa sempurna kembali.


Aku dan Ivan berhasil melewati badai dan menciptakan pelangi kembali..
Kami berhasil menghidupkan kembali pohon yang hampir mati..
Kami berhasil merobohkan dinding beton yang kami bangun sendiri selama 3 tahun..
Kini tak akan ada dinding penghalang lagi diantara kami..
Dan persahabatan kami tiada akhir...

~~~~~~~~~~~~THE END~~~~~~~~~~~~
Terinspirasi  oleh ff ^^