(Cerita ini hanyalah fiktif belaka)
Persahabatan bukanlah
tentang siapa yang kau kenal lebih lama..
Persahabatan adalah
tentang siapa yang datang dan tak tak pernah meninggalkanmu..
Sahabat layaknya
pelangi yang mencerahkan hidupmu setelah kau berhasil melewati badai..
Aku memilikinya..
Aku menyayanginya..
Dan aku melukainya..
Persahabatan. Menurutku adalah hal yang paling
menyenangkan dalam hidupku. Namun, itu 3 tahun silam. Namaku Minki, karena
tingkah bodohku aku kehilangannya. Kehilangan sahabat yang amat ku sayangi,
Ivan. Aku selalu berusaha mencarinya, mencari seseorang yang dulu sempat
mengisi hari-hariku dengan tawa khasnya.
Aku berharap disetiap aku membuka mata dia ada
disampingku. Aku berharap dia tak akan lari saat dia mendengar suaraku. Aku
berharap dia akan kembali padaku seperti dulu. Aku berharap disaat kita bertemu
nanti, dia tidak membenciku.
Banyak hal yang ingin kulakukan dengannya. Banyak
tempat yang ingin aku kunjungi dengannya. Banyak hal yang ingin aku katakan
padanya, “Apa kau sudah makan? Apa kau hidup dengan baik? Aku terasa akan mati
saat tahu kau meninggalkanku. Hidupku terasa hancur. Aku akan menjadi orang
yang tidak bahagia di dunia ini.”
Tiga tahun yang lalu,
ketika aku duduk dibangku kelas 3 sekolah menengah pertama...
Pohon cherry yang ditanam di pekarangan belakang rumah
mulai menumbuhkan bunga kecilnya yang berwarna pink. Menandakan sudah waktunya untuk musim semi mengambil
bagiannya. Udara musim dingin yang beralih ke musim semi begitu menyentuh
tulang. Membuat warna seperti udang rebus pada telingaku dan telinga Ivan,
meskipun kami memakai pakaian berlapis sekalipun. Kami satu sekolah, satu
kelas, bahkan kami tinggal satu atap, ya dia tinggal di rumahku.
Aku selalu bangun lebih dulu sebelum Ivan. Membuat
sarapan untuk kami berdua, bagai seorang ibu yang memasak untuk keluarganya. Ivan
telah ku anggap sebagai adikku sendiri, walaupun usia kami berbeda beberapa
bulan saja. Aku sangat menyayanginya. Aku tak mau kehilangannya.
Setiap pagi aku dan Ivan berangkat ke sekolah
bersama, menunggu bus bersama, mendengarkan musik bersama, membaca komik
bersama, semua kami lakukan bersama-sama. Disaat kami terlambat masuk sekolah,
kami selalu melompat pagar sekolah. Kami adalah murid yang nakal, dengan
peringkat 1 dan 2 dari belakang membuat para guru hafal dengan kami. Pernah
kami hampir dikeluarkan dari sekolah karena terlibat perkelahian antar sekolah,
namun wali kelas kami memohon pada kepala sekolah untuk tidak mengeluarkan
kami.
Saat pulang sekolah aku membawa Ivan ke suatu
tempat yang ingin aku kunjungi, yakni Sungai Han. Di sana terdapat alang-alang
setinggi satu meter, hamparan sungai yang luas dengan jembatan panjang
melintang di atasnya ditambah lagi cahaya lampu saat malam hari. Membuat tempat
itu ramai dikunjungi orang. Ada yang hanya duduk santai memandangi sungai dan
menanti kembang api, ada yang bermain sepatu roda, ada yang bersepeda, bahkan
ada yang mengajak hewan kesayangannya jalan-jalan.
Aku mengajak Ivan kemari karena menurut prediksi
akan ada hujan meteor. Konon jika kita berdoa saat terjadi hujan meteor, akan
terkabul. Memandang langit dari bawah jembatan sangatlah indah. Kita dapat
melihat jutaan bintang yang jauh disana, menghiasi langit bagai roti dengan
jutaan meses warna-warni yang tak
akan habis jika dimakan. Namun saat mendung tiba, langit bagai tanah yang
tandus dan tak berpenghuni.
Saat aku melihat satu meteor jatuh mengarah ke
timur, dengan cepat aku dan Ivan memanjatkan doa.
(Aku berdoa sambil
menggenggam tanganku di depan dada dengan mata terpejam) “Ya Tuhan, aku ingin Ivan selalu bersamaku hingga kematian
memisahkan kita.”
Aku melihat Ivan sedang memanjatkan doa dengan air mata
mengalir di pipinya. Mungkin dia berdoa sama sepertiku, meminta agar kami selalu
bersama.
Tak lama suara keras kembang api bagai bom yang
meledak saat perang terdengar tak jauh dari telinga kami. Membuat konsentrasi
berdoa kami hilang. Kami pun beralih menikmati kembang api yang dimainkan
segerombolan anak perempuan yang berhasil membuat kami terkesima olehnya.
Tiba-tiba muncul keinginanku untuk mencobanya juga. Aku pikir akan mudah
melakukannya, semudah membalik telapak tangan. Namun aku salah, butuh latihan
beberapa kali hingga selihai mereka.
Aku mencoba mengajak Ivan untuk bermain kembang
api, menikmati keindahan malam yang cerah tanpa gangguan mendung atapun salju.
Ivan nampak menikmati kembang apinya, begitupun denganku. Aku berpikir bahwa
kembang api yang ku mainkan telah habis dan aku mengarahkannya pada Ivan, hanya
untuk candaan.
Tanpa sengaja Ivan menghadap kembang api yang ku
bawa. “Duaarrrr!!!” Suaranya tak begitu keras, namun tepat mengenai kornea mata
Ivan. Seketika aku mematung tak percaya dengan apa yang telah aku lakukan. Kakiku
rasanya lumpuh dan tak bisa digerakkan.
Ivan terus berteriak, “Sakit! Sakit! Kakak mataku sakit!” (sambil memegangi kedua matanya)
Aku masih dalam diam, menelaah apa yang telah ku perbuat. Aku
berkata dalam hati, “Ya Tuhan, apa telah aku lakukan pada Ivan?” (sambil melihat tangan kanan dan kiriku
bergantian)
Aku melihat Ivan dibawa ambulance
yang akan menuju ke rumah sakit terdekat.
Aku takut dengan diriku sendiri, jika aku menemui
Ivan akan melukainya lagi. Aku takut jika Ivan akan membenciku. Aku belum siap
jika harus kehilangannya. Aku memilih menjauh darinya, aku tak kuat melihatnya
menderita karenaku. Aku ingin sekali menggantikan posisi Ivan, karena
kebodohanku aku kehilangannya. Tidak, aku yang melepaskannya. Aku merasa
duniaku telah runtuh.
Tiga tahun kemudian...
Aku hidup dalam kesepian, tiga tahun berlalu tanpa
ada Ivan ataupun sahabat yang lain. Kini aku bersekolah di SMA Swasta, dan
malam harinya aku harus kerja paruh waktu untuk mencukupi kehidupku. Di pagi
hingga sore hari aku menjadi ketua kelas, di malam hari aku menjadi jasa pengantar
barang.
Di pagi yang cerah, aku manfaatkan untuk tidur
sebentar di dalam kelas. Suara gaduh siswa kelas 3-1 tak menghilangkan niatku
untuk tidur. Namun saat suara gaduh siswa berubah menjadi suara seorang guru,
membuatku terbangun.
“Anak-anak kita sebentar lagi libur musim panas. Apa kalian
telah menyiapkan apa yang akan kalian lakukan?” Ujar seorang guru di depan
kelas yang mampu membuat seluruh siswa gaduh kembali.
“Apa yang akan lakukan
selama libur musim panas ini? Apa aku harus bekerja? Atau aku pergi mencari
Ivan? Mencari informasi dimana rumahnya sekarang? Dimana sekolahnya sekarang?
Pergi mencari Ivan bukan ide yang buruk.” (Ujarku
dalam lamunan dengan menatap langit biru).
Tak terasa libur musim panas telah tiba.
Sebelumnya aku telah menyiapkan jadwal tempat yang akan aku kunjungi hari ini
untuk mencari Ivan, semoga dengan jadwal ini sedikit membantuku.
Tempat pertama yang akan aku kunjungi adalah rumah
lama Ivan. Rumah yang menjadi saksi bisuku bersama Ivan 3 tahun lalu. Namun
rumah itu kini telah kosong tak berpenghuni dan banyak tumbuh rumput liar.
Tempat kedua adalah tempat favorit kami, yaitu taman bermain di dekat rumah
Ivan yang banyak menyimpan kenanganku bersamanya. Dan tempat yang terakhir
adalah sungai Han. Meskipun sungai Han adalah saksi bisu ketika aku melepaskan
Ivan, tapi apa salahnya aku mencoba mencarinya disana.
Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh area sungai
Han, aku tak mendapati sosok yang aku cari. Semakin ku perdalam lagi
pandanganku, ada sosok pria yang janggal menurutku. Dia berkacamata hitam,
memakai topi, tangan kanannya memegang tongkat dan tangan kirinya memegang tali
penuntun anjing. Aku sedikit menundukkan badanku sebagai tanda hormatku
padanya, namun tak ada respon apapun. Aku mendekatinya dan tersenyum padanya,
namun tetap tak ada respon apapun.
Saat aku mendekati pria tersebut aku kaget
sekaget-kagetnya. Ternyata orang yang selama ini aku cari, mengalami kebutaan.
Ya, Ivan buta karenaku, karena kecerobohanku.
“I-Ivan?” Ujarku terbata-bata saat melihat kondisi Ivan.
“Siapa kamu?” Sejenak Ivan berpikir untuk mengingat kembali
suaraku. “Kamu? Kenapa kamu di sini?”
“Aku mencarimu, Van.” Sahutku
“Kenapa kau muncul kembali setelah 3 tahun berlalu? Kau kemana
saja Minki? Kenapa baru sekarang kau muncul? Kenapa kau tidak datang saat aku
di rumah sakit? Kenapa?” (Ujar Ivan
dengan mencoba memukulku menggunakan tongkatnya)
Air mataku tak dapat terbendung lagi, kini pipiku
telah basah seperti sungai yang mengalir. Aku hanya diam ketika tongkat Ivan
mengenai tubuhku. Aku tahu, aku pantas mendapatkannya.
“Dulu aku seorang pengecut yang takut mengakui kesalahannya.
Selama 3 tahun ini aku merasa tak ada gunanya lagi aku hidup, hidup dalam rasa
bersalah yang aku buat sendiri. Jika aku dapat memutar waktu aku akan mengantarmu
pergi ke rumah sakit, menjadi mata untukmu, menjalani waktu bersama.” (Ujarku masih dalam tagis)
“Bagaimana mungkin aku akan menjalani waktuku bersama orang
yang telah membuat mataku seperti ini?” (Ujar
dengan membuka kacamatanya)
“Van, maafkan temanmu yang pengecut ini!”
“Apakah semudah itu memaafkan orang sepertimu? Bukankah kau
tahu aku orangnya seperti apa? Aku sulit menyembuhkan luka dihatiku. Kau tahu
kan itu?”
“Aku mohon, Van. Maafkan aku” (Ujarku memohon pada Ivan yang mulai menjauh dariku)
Aku duduk di bangku yang diduduki Ivan sebelumnya,
menundukkan wajahku agar tak terlihat orang kalau aku menangis. Aku mencari
cara agar Ivan memaafkanku dan kami kembali seperti dulu.
Aku mengikuti Ivan pulang tanpa sepengetahuannya.
Dia tinggal bersama kakaknya tidak jauh dari sungai Han. Di rumah sederhana
yang besebelahan dengan gereja dan toko roti, disanalah ia tinggal. Aku melihat
Ivan masuk ke dalam toko roti dan kakaknya sedang melayani pelanggan. Ya, toko
roti itu milik kakak Ivan. Walaupun tak terlalu banyak roti yang dijajakan,
namun pelanggan mampu memenuhi toko roti tersebut.
Aku lega melihat Ivan hidup dengan baik bersama
kakaknya. Setidaknya itu mengurangi rasa bersalahku padanya. Aku mengamatinya
dari kejauhan, dia makan dengan baik, asik bermain dengan anjingnya, sesekali
ia tertawa dengan anjingnya.
Langit mulai mengeluarkan cahaya merahnya
disebelah barat. Menandakan
sudah waktunya untuk cahaya bulan menggantikan cahaya matahari. Aku berjalan menjauhi toko roti Ivan. Berjalan menyusuri
lorong jembatan yang mulai menyepi. Menaiki anak tangga satu per satu, berjalan
dengan menunduk membuatku seperti berjalan tanpa arah. Aku tak tahu apa yang
harus aku lakukan untuk meminta maaf pada Ivan.
Sesampainya di rumah aku mesih terus berpikir
bagaimana caranya agar Ivan memaafkanku.
“Apa aku harus menemaninya? Tidak, tidak. Jika dia tahu aku
menemaninya mungkin dia akan marah seperti sebelumnya, memukulku dengan tongkat
atau bahkan lebih.” (Ujarku yang sejenak
menghentikan aktivitasku menggosok gigi)
“Mungkin aku bisa mengawasinya dari kejauhan. Ya, dengan
begitu ia tak akan marah-marah. Aku hanya ingin melihatnya tersenyum. Aku tak
ingin karena kehadiranku membuatnya marah. Dengan senyumnya ia terlihat sangat
tampan.”
Esok harinya, aku memutuskan pergi ke sungai Han
untuk menemui Ivan. Meminta maaf padanya adalah pekerjaanku saat ini. Aku siap
jika Ivan masih memukuliku, tapi aku tidak siap jika ia masih marah padaku dan
tidak mau memaafkanku. Aku mengelilingi area sungai Han, namun aku tak melihat
Ivan disana.
Aku pergi ke toko roti kakak Ivan, namun toko
tersebut tutup. Bertanya pada salah seorang tetangga Ivan adalah pilihanku.
“Maaf, apakah anda tahu sekarang pemilik toko ini pergi kemana?”
“Aa Ivan? Dia pergi ke rumah sakit setiap satu bulan sekali.
Hari ini Ivan dan kakaknya pergi ke rumah sakit Global. Kata kakaknya sih
mencari donor mata. Kasihan sekali Ivan, dia tampan namun buta. Sungguh hidup
ini begitu mengerikan.” (Ujar wanita
paruh baya tetangga Ivan)
“Ya. Terima kasih” (Ujarku
dengan sedikit membungkukkan tubuhku padanya)
Aku bergegas pergi menuju rumah sakit Global untuk
mencari Ivan, namun aku tidak menemui Ivan.
Aku bertanya pada seorang suster, “Permisi suster, ruang
dokter mata dimana?”
“Oh, anda bisa mengikuti garis biru ini dan anda akan
menemukan ruang dokter mata.” (Ujarnya
dengan menunjuk garis biru di lantai)
“Oh iya. Terima kasih”
Setelah
beberapa menit aku mengikuti garis biru tersebut, aku sampai didepan pintu
sebuah ruangan. Pintu berwarna cream
dengan papan menggantung di atasnya. ‘dr. Rama spesialis mata’ itu tulisannya.
Sesaat sebelum aku mengetuk pintu, aku mendengar suara dokter menjelaskan pada
Ivan dan kakaknya. Aku merasa tertampar saat dokter mengatakan bahwa selama beberapa
tahun terakhir donor mata untuk rumah sakit ini memang belum ada, walaupun
suaranya terdengar samar itu mampu membuatku membulatkan mata.
Aku berlari
menjauhi ruangan dokter mata karena tak mau mendengar lebih jauh lagi. Aku
berlari dengan mata berkaca-kaca. Aku harus menahannya. Menahan jangan sampai
menangis di tempat umum.
Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamarku.
Mengambil sebuah kotak usang penuh debu yang berada di bawah kolong kasurku.
Aku membukanya perlahan, mengabsen satu per satu apakah masih lengkap isinya
atau tidak. Sebuah objek mampu manarik perhatianku. Sebuah pigura foto lengkap
dengan isinya berukuran 10,2
x 15,2 cm. Bukan piguranya yang menarik perhatianku, melainkan isinya.
Ya, isinya adalah foto kami, fotoku dengan Ivan waktu dulu.
Mengingat-ingat kembali masa kami
bersama membuatku semakin merindukannya. Air mata membanjiri pipiku. Sebenarnya
aku adalah lelaki yang kuat, namun untuk masalah Ivan aku menjadi lelaki yang
amat rapuh. Mungkin hanya diterpa angin aku akan langsung jatuh. Begitu sulit
meminta maaf pada Ivan membuatku semakin terpuruk.
Esok harinya, matahari menyinari kota
sangat cerah. Seperti biasa aku pergi ke sungai Han untuk mengawasi Ivan, namun
untuk kali ini aku tidak mengawasinya. Aku menghampirinya, karena aku tak mampu
lagi menahan rasaku untuk tetap berada disampingnya.
“Hai Van..” Sapaku saat melihat Ivan
yang duduk di bangku kayu dekat sungai Han bersama anjingnya.
“Kenapa kau kemari lagi? Belum puas kah
kau membuatku seperti ini? Hah?”
“Van, aku kemari untuk minta maaf.
Bukan untuk membuatmu marah.”
“Jika kau ingin aku tidak marah, maka
jangan pernah sekali-kali datang padaku lagi. Lebih baik kau pergi sekarang,
sebelum aku memukulmu”
“Van, aku mohon maafkan aku. Maafkan
teman pengecutmu ini.” (Aku mulai
meneteskan air mata dan suaraku mulai bergetar) “Aku mohon, Van.”
“Kau mau aku memaafkanmu? Setidaknya
kau harus merasakan tersiksanya jadi seperti diriku. Maka aku akan
memaafkanmu.”
“Maksudmu?”
“Butalah! Maka aku akan memaafkanmu.” (Aku terpaku lemas tak berdaya mendengar
ucapan Ivan)
“Apa hanya itu yang dapat lakukan untuk
menebus kesalahanku? Apa tak ada cara lain, Van?”
“Kenapa? Kau tidak bisa?”
“Aku butuh waktu untuk memikirkannya,
Van. Lebih baik aku mengantarmu pulang sebelum sinar matahari membakar kulit
putihmu.” (Ujarku dengan mengulurkan
tangan pada Ivan)
“Tidak terima kasih. Lebih baik aku
pulang bersama anjingku daripada teman pengecut sepertimu.” (Ivan mulai berdiri dan berjalan menjauhiku
bersama anjingnya)
Aku
mencoba mencerna kembali kata-kata Ivan, “Aku
akan memaafkanmu jika kau merasakan tersiksanya jadi seperti diriku.”
“Butalah!”
Aku terus memikirkannya hingga kepalaku
hampir pecah, “Apa hanya ini jalan satu-satunya untuk dia mau memaafkanku? Apa
tidak ada jalan lain? Aku sudah cukup tersiksa dengan dia membenciku. Tapi
kenapa harus seperti ini? Bukan ini yang aku mau.”
Aku
pergi ke rumah sakit Global untuk berbicara pada dokter Rama, tepatnya aku
ingin bertanya tentang kondisi keadaan mata Ivan.
“Dok, bagaimana kondisi keadaan mata
Ivan? Apa sangat parah matanya?”
“Kondisinya tidak terlalu parah. Jika dia segera mendapat donor mata, mungkin akan lebih mudah untuk kembali walaupun tidak 100%. Namun, di rumah sakit manapun kehabisan stok mata.”
“Kondisinya tidak terlalu parah. Jika dia segera mendapat donor mata, mungkin akan lebih mudah untuk kembali walaupun tidak 100%. Namun, di rumah sakit manapun kehabisan stok mata.”
(Aku
terdiam memikirkan kata-kata Ivan lagi)
“Dok, jika saya mendonorkan mata saya
pada Ivan, apa dia dapat melihat lagi? Apa dia dapat melihat warna langit
lagi?”
“Aku
melakuan ini, karena aku tidak ingin lagi melihatnya semakin tersiksa
karenaku.” (Batinku)
“Apa kamu serius? Bagaimana dengan
kehidupanmu?”
“Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja,
dok. Lalu apa persyaratannya, dok?”
“Sungguh kamu tidak apa-apa?”
“Iya, dok”
“Syaratnya mata kamu harus sehat. Tidak
katarak, tidak berpenyakit, normal.”
“Mata saya sehat dok” (sambil menunjuk mataku sendiri)
“Kamu harus mengisi formulir terlebih
dulu dan besok bisa kita lakukan operasinya. Apa kamu siap?”
“Siap, dok”
Setelah
pulang dari rumah sakit, aku sempatkan melihat Ivan dari kejauhan yang berada
di dalam toko rotinya. Untuk terakhir kali melihatnya secara langsung, sebelum
operasi berlangsung. Aku melihat kakak Ivan menghampirinya dengan senyum
bahagia di wajah mereka. Aku senang melihat senyum mereka karenaku. Aku
memperhatikannya sedetail mungkin
agar aku dapat membayangkan bagaimana senyum mereka saat aku tak dapat
melihatnya.
Sesampainya
di rumah, aku memperhatikan seluruh isi rumahku. Aku merapikannya, sebelum aku
tak dapat merapikannya lagi. Aku mengganti semua barangku yang terbuat dari
kaca dengan plastik, agar tak pecah jika aku salah meletakkannya. Semua
persiapanku telah matang, dari pakaianku untuk ke rumah sakit hingga aku
berganti handphone khusus pengguna
tunanetra. Aku siap menjalani operasi.
Sembari berjalan ke rumah sakit, aku
memperhatikan jalanan yang aku lewati. Jalanan yang dominan dengan warna hijau
dan hitam karena musim semi dan aspal. Jalanan dengan udara yang sejuk di pagi
hari. Jalanan yang ramai dengan pengguna jalan. Sebelum jalanan tersebut
menjadi hitam tanpa cahaya, aku memperhatikannya dengan seksama. Ya, sebelum
aku menjadi penyandang tunanetra.
Operasinya berjalan lancar, selancar
warna hitam yang memenuhi pandanganku. Kini tak ada lagi warna-warni pelangi,
tak ada lagi warna-warni lampu, tak ada lagi warna-warni kembang api. Bagiku
aku hanya mengenal satu warna, hitam.
Sebaliknya, dunia Ivan kembali
berwarna. Kini dia mengenal banyak warna lagi, tidak seperti 3 tahun terakhir
yang hanya mengenal warna hitam.
Saat aku bertanya pada seorang suster,
“Apakah Ivan bahagia?”
Dia menjawab, “Ya, Ivan bahagia. Namun
saat aku mengatakan bahwa kau yang mendonorkan matanya dia terlihat sedih.”
“Apa yang salah dengan perbuatanku? Aku
sudah buta, tapi kenapa Ivan masih sedih?” (Lamunku
sesaat setelah suster mengatakannya)
Satu
bulan kemudian...
Aku
mulai sedikit terbiasa dengan mataku. Aku melakukan kegiatan rumah tidak
sendiri lagi. Ya, kini Ivan kembali padaku dan tak akan pernah meninggalkanku
lagi. Itu janji kami saat kami berdoa bersama.
Setiap hari
Ivan menyuapiku, menjadi mata untukku, penuntun arah untukku berjalan. Kini
hidupku terasa sempurna kembali.
Aku
dan Ivan berhasil melewati badai dan menciptakan pelangi kembali..
Kami
berhasil menghidupkan kembali pohon yang hampir mati..
Kami
berhasil merobohkan dinding beton yang kami bangun sendiri selama 3 tahun..
Kini
tak akan ada dinding penghalang lagi diantara kami..
Dan
persahabatan kami tiada akhir...
~~~~~~~~~~~~THE
END~~~~~~~~~~~~
Terinspirasi oleh ff ^^